2008 07 07 Pabrik Perak di Tengah Sawah Beratap Ilalang, Berdinding Bambu
Posted on Minggu, 01 Juli 2012
|
No Comments
Oleh arixs
Senin, 07-July-2008, 11:34:11
150 klik
DI Banjar Baturening, Mambal, Abiansemal, Badung di petak-petak sawah yang dikelilingi aliran sungai terlihat sebuah bengkel, di mana ratusan orang bekerja di dalamnya.
Mereka merancang dan mengukir perhiasan yang bukan saja indah tapi juga paling unik dan banyak dilihat di dunia, khususnya Amerika, the John Hardy (JH) Collection. Pekan lalu Tokoh berkesempatan mengunjungi perusahaan yang hadir di lokasi tersebut sejak 1997 ini. Walaupun berdiri tepat di depannya, orang tak akan pernah sadar bahwa mereka sedang menatap sebuah pabrik perak, begitu kata masyarakat sekitar. Pabrik ini terlihat seperti rumah penduduk atau mungkin seperti kompleks boutique hotel yang dibangun di daerah pedesaan, di tengah persawahan. Bangunan dengan desain khusus yang ada ini sangat impresif dan terlihat khas. Tak ketinggalan, tampak pula canang-canang cantik diletakkan di beberapa lokasi. Inilah studio asal koleksi perhiasan dengan merek JH. Tempat ini adalah sebuah kompleks yang terbuat dari beberapa bangunan dengan lingkungan alam yang dibiarkan apa adanya, sesuai kontur tanah asli. Bahan bangunan pun berupa material ramah lingkungan, seperti atap ilalang, dinding dari bambu atau diplester dengan popolan endut serta lantai dari bebatuan lokal. Menurut Ni Luh Putu Parmini, semua bangunan tidak dibangun permanen tanpa semen, beton dan sejenisnya agar mudah mengembalikan ke asalnya ketika usaha tersebut tak lagi di sana. Parmini ingat pesan perintis awal, John Hardy, tidak boleh mengubah sawah menjadi pabrik tanpa memberi kemungkinan mengubahnya kembali menjadi sawah, jika diperlukan suatu saat kelak. Damien Dernoncourt sepaham, kalau kita semua tidak akan berada di dunia ini selamanya. Jadi, suatu hari, jika orang Bali menginginkan mengubah pabrik ini menjadi sawah kembali, hal itu dapat dilakukan hanya dalam waktu seminggu saja. Pemandangan lain, terlihat ruas jalan berbatu kali yang menghubungkan bangunan satu dengan lainnya di lokasi tersebut. Di sekelilingnya tampak sungai dengan air yang mengalir. Jalannya pun tak semua datar melainkan menanjak atau malah menurun. Karena itu, bagi para tamu yang berkunjung dan ingin berkeliling disarankan menggunakan sepatu khusus berjalan dan tidak menggunakan sepatu atau sandal berhak tinggi. Selama Putu Parmini mengantar Tokoh berkeliling melihat pabrik perak tersebut, ia menjelaskan, semua yang ditanam dan tumbuh di sekitarnya adalah 80 % dapat dikonsumsi. Ada kebun tropis yang menaungi kompleks yang terdiri atas kelompok pohon tebu, jagung, cabai, sayuran dan pohon terung berdaun sangat hijau, yang memberikan warna kebiru-biruan. Tiap semua sudut yang ada dimanfaatkan untuk bertanam. ”Ada tukang kebunnya, mereka juga telah biasa membuat kompos sendiri. Sementara yang bertugas beternak, jika ada rumput gajah dipotong dengan tangan untuk makanan sapi,” ujar Parmini sembari menujukkan kandang sapi dan beberapa binatang peliharaan lainnya seperti kambing, kelinci dan babi. Ni Putu Tirka Widanti, pemimpin perusahaan, mengatakan kalau di pabrik perhiasan ini orang bukan hanya bekerja namun juga menjadi ajang pemelajaran. Melalui lingkungan pertanian organik kecil ini banyak hal bisa dipraktikkan. Berbagai jenis tanaman dan sayuran yang tumbuh di sana dapat digunakan untuk tambahan suplai makanan. ”Kami semua juga diajarkan mengenal nasi yang tiap hari kita konsumsi itu dengan cara mengajak semuanya turun langsung mamula padi,” ujarnya tersenyum. Deretan bengkel di bangunan sederhana tersebut penuh dengan cahaya dan udara segar, terlihat sebuah ruang tempat membuat rantai emas atau perak. Ada juga tempat mengolah kayu palem hitam yang digunakan untuk peralatan rumah tangga. Di bengkel yang lain, para tukang perhiasan tampak membuat lembaran tipis dari perak dan membentuknya menjadi bola kecil yang indah. Di tempat lainnya lagi terdapat ruangan tempat mencairkan dan pewarnaan bahan-bahan mentah. Semua perhiasan dikerjakan dengan tangan. Mesin tak dapat membuat produk seunik ini. ”Kami harus menciptakan situasi yang memungkinkan karyawan bekerja sebaik-baiknya,” ujar Ni Putu Tirka lebih lanjut seraya memperlihatkan deretan panel dinding yang dapat digeser untuk mengendalikan jumlah cahaya dan udara yang dapat dialirkan ke dalam ruangan. Para pekerja pun dapat mengaturnya sesuai yang diinginkan. Mereka bisa bekerja di tempat terbuka, tetapi pada saat cuaca buruk, dapat ditutup dengan rapat. Di langit-langit tergantung kipas angin karena di sana diputuskan tidak menggunakan pendingin udara. Di areal tersebut juga ada sebuah wantilan klasik terbuka yang besar, dengan penyangga di tengah dan di sekeliling bagian luar untuk menyangga lantai bagian atas. Menurut Parmini, pemilik lama pernah mengatakan mungkin suatu hari, desa akan menggunakan ruangan ini sebagai tempat berkumpul. Sekarang menjadi istananya para deasiner. Di wantilan inilah perancang menuangkan semua ide untuk kreasinya. Ada pula wax carver (para pemilik magic hand) yang akan menerjemahkan gambar mereka. Di wilayah lain lagi ada ruang teknologi informasi lengkap dengan server-nya. “Ini teknologi New York di Bali. Mereka yang mengelola jaringan bisnis ini dengan dunia luar,” kata Parmini. Pada tengah hari, ada jamuan makan siang yang disediakan bagi tiap pengunjung secara gratis. Makan siang disiapkan di bawah pohon banyan yang menaungi dapur tradisional dan meja makan. Ketika seluruh pekerja mengambil makan siangnya secara bergiliran, para eksekutif dan manager serta tim internasional sekitar 50 orang, semuanya makan siang bersama. - ard